JA.com, Jakarta - Beredar berita bahwa warga di Kecamatan Tanimbar Utara resah akibat fenomena terdamparnya ratusan ikan berbagai jenis biota laut di pantai Desa Lelingulan. Berita tersebut termuat di beberapa media nasional pada 13 Oktober 2019 lalu. 

Menanggapi fenomena tersebut, ahli tsunami BNPB Abdul Muhari menyampaikan beberapa pandangan. Pertama, bahwa hingga saat ini belum ada penelitian yang menyimpulkan keterkaitan antara biota laut permukaan dengan aktivitas kegempaan dari laut yang biasanya bersumber pada lempeng dengan kedalaman lebih dari 1.000 m.

"Biota-biota yang selama ini seringkali mati dalam jumlah besar kemudian terdampar di pantai adalah biota permukaan atau biota laut dangkal-karang, bukan biota laut dalam," ujar Muhari dalam pesan digital pada pagi ini, Senin (14/10).

Muhari menambahkan bahwa fenomena terdamparnya biota laut dangkal sering kali disebabkan oleh fenomena _upwelling_. Fenomena _upwelling_ yakni arus naik ke permukaan yang biasanya membawa planton atau zat hara yang menjadi makanan biota laut dangkal, bukan merupakan efek aktivitas lempeng/sesar.

Fenomena yang terjadi tidak merujuk pada tanda-tanda akan muncul gempa besar.

Sementara itu, BMKG mencatat 1.516 gempa susulan pascagempa Maluku M 6,5 yang terjadi pada 26 September lalu. Dari jumlah tersebut, 175 gempa susulan dirasakan oleh warga. Terkait dengan gempa tersebut, perkembangan terkini per 14 Oktober 2019 BNPB mencatat 148.619 warga masih mengungsi.

Total rumah rusak di wilayah terdampak, yaitu Kabupaten Maluku Tengah, Seram Bagian Barat dan Kota Ambon mencapai 6.355 unit dengan rincian total rusak berat 1.273 unit, rusak sedang 1.837 dan rusak ringan 3.245.

Korban meninggal tercatat 41 jiwa dan mereka yang masih terluka sebanyak 1.602. Kabupaten Maluku Tengah dan Seram Bagian Barat masih melakukan upaya penanganan darurat, sedangkan Provinsi Maluku dan Kota Ambon sudah melakukan upaya-upaya transisi darurat ke pemulihan. Hms BNPB
 
Top