JA.com, Jakarta – Pandangan Dr Luthfi Assyaukanie, dosen Universitas Paramadina yang lansir di harian Rakyat Merdeka (4 Juli 2018) Wakil Presiden dari Politisi dan Tenokrat sangat ideal. Menurutnya, sosok yang paling tepat sebagai pendamping Jokowi adalah tipe pemimpin yang mampu menggabungkan dua hal sekaligus, yaitu kemampuan teknokratis dan daya dukung atau akar politik.

Dalam literatur ilmu sosial, tipologi pemimpin seperti itu kerap disebut politisi-teknokrat, technocrat-politician, atau disingkat sebagai technopol. Ia adalah sosok multidimensi yang menguasai proses pembuatan kebijakan pemerintahan, dan biasanya memiliki kompetensi teknis yang bersifat profesional.

Dr Luthfi Assyaukanie mencontohkan, seperti Profesor Widjojo Nitisastro (almarhum) dan Dr Sri Mulyani, Menteri Keuangan sekarang. Tapi kedua tokoh ini adalah teknokrat murni. Belum bisa sebut sebagai teknopol. Sebab akar dan lingkup dukungannya tidak berasal dari dunia politik. Malah, kaum pemimpin seperti ini dianggap terisolasi dari proses politik dan selalu mengambil jarak dengan dinamika politik sehari-hari.

Menurutnya, kaum teknokrat dan kaum teknopol memiliki semua kelengkapan profesional dalam pembuatan kebijakan ekonomi dan industri. Namun mereka juga berada di dalam proses politik, dan malah terkadang memimpin dan mengarahkan realitas politik pemerintahan. Sebagian dari mereka kerap menjadi pemimpin langsung dari kekuatan politik atau partai politik yang berpengaruh.

Dr Luthfi menganggap bahwa tipologi pemimpin seperti itulah yang paling ideal mendampingi Jokowi sebagai Wapres dalam pemerintahan berikutnya? Karena kebutuhan riil untuk terus memicu kemajuan Indonesia, apalagi di tengah suasana ekonomi, perdagangan, dan industri dunia yang penuh berisi ketidakpastian seperti yang terjadi belakangan ini.

Dengan pendamping seorang teknopol, Dr Luthfi berharap bahwa Presiden Jokowi dapat memimpin pemerintahan baru yang lebih kuat dan efektif. Serta, pada saat yang sama, lebih membuka dukungan politik baginya, baik dalam memenangkan Pilpres 2019 maupun dalam melakukan negosasi dengan kekuatan politik di parlemen setelah pemerintahan baru terbentuk nanti.

“Terus-terang, saya sangat setuju dengan gagasan segar seperti ini, kita tidak terjebak dalam politik identitas dan retorika sentimen agama yang kerap membingungkan dan salah kaprah,” ajaknya.

Di lain  pihak  gagasan Dr Ali Munhanif, dosen UIN Jakarta yang juga dimuat di Rakyat Merdeka (5 Juli 2018, halaman 1), juga penting untuk dicermati. Sebab ia memberi kita kerangka berpikir untuk keluar dari polarisasi santri-abangan yang sudah usang dan kontra-produktif.

Singkatnya, gagasan Dr. Luthfi dan analisis Dr. Ali Munhanif memungkinkan kita untuk melihat pemilu tahun depan dengan pikiran terbuka. Lebih “rasional’ dan mementingkan aspek kemampuan memerintah (governing capacity). Namun tetap berakar pada realitas politik baru Indonesia.

Kembali pada sosok Wapres ideal buat Jokowi, dengan menggunakan kerangka berpikir seperti itu, sosok yang kini muncul sebagai pilihan alternatif yang menguat adalah Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian yang juga Ketua Umum Partai Golkar. Saya kira hal ini memang wajar dan sudah semestinya.

Dari segi pendidikan dan profesionalisme, Airlangga Hartarto yang berusia 55 tahun adalah jebolan salah satu universitas terbaik Amerika (Wharton School) dan Australia (Monash University). Sejak menjadi mahasiswa di UGM di tahun 1980-an, ia juga aktif sebagai aktivis mahasiswa dan menjadi Ketua Senat Mahasiswa Teknik Mesin. Sejak awal, ia telah menggabungkan dengan baik semangat aktivisme dan kemampuan akademis yang mumpuni.

Kariernya yang cukup panjang di DPR, praktis tanpa cacat dan tanpa cela, adalah bukti lain bahwa ia dapat mengarungi dunia politik Indonesia tanpa kehilangan semangat dan idealisme seorang aktivis cum intelektual. Dengan pribadi yang santun dan ramah, ia telah membangun jaringan politik dan perkawanan yang sangat luas, termasuk dalam berbagai komunitas politik Islam Indonesia.

Sekarang, dengan posisi sebagai Menteri Perindustrian dan Ketua Umum Partai Golkar sekaligus, Airlangga adalah personifikasi dari tipologi teknopol par excellence. Ia adalah pertemuan dua arus besar dari konsep kepemimpinan baru, seperti yang disinggung Dr. Luthfi Assyaukanie.

Selain itu, seperti Jokowi, sosok seperti Airlangga mampu menyerap dinamika baru politik zaman now dan mengerti cara yang tepat untuk merangkul kaum milenial. Dalam akun Facebook dan Instagram-nya, Airlangga mengunggah video clip pidato Jokowi dan kini sudah disaksikan oleh lebih 7 juta orang.

Video klip pidatonya sendiri di Pesantren Ploso, Kediri, pada bulan puasa lalu kini telah disaksikan lebih 5 juta viewers. Banyak postingnya yang lain, dibuat dengan apik dan menarik, sudah mencapai skala jutaan viewers. Belum ada tokoh politik Indonesia yang mampu memanfaatkan teknologi media sosial secanggih itu.

Jadi, dengan semua itu, bisa dikatakan bahwa kombinasi Jokowi-Airlangga sebenarnya bukan hanya sebuah pilihan ideal untuk memenangkan Pilpres atau untuk membangun kekuatan politik saat ini. Tetapi, mungkin lebih dari itu, yaitu untuk mempersiapkan dengan lebih baik masa depan Indonesia.

Dengan kerja sama erat antarpartai pro-Jokowi, yaitu PDIP, Partai Golkar, Nasdem, dan yang lainnya, maka banyak hal positif dapat dilakukan bagi kemajuan Indonesia. Bukan tidak mungkin, dengan kepemimpinan baru Jokowi-Airlangga, Indonesia 2019-2024 akan memasuki masa gemilang yang kelak terus dikenang sebagai salah satu dari The Golden Ages Of The Republic.
 
Top