JA.com, Jakarta--Dalam setiap tahapan revolusi indutri mulai dari yang pertama hingga saat ini memiliki tantangan dan dampak berbeda. Revolusi industri pertama pada abad ke-18, ditandai dengan penemuan mesin uap untuk upaya peningkatkan produktivitas yang bernilai tambah tinggi. Misalnya di Inggris, saat itu, perusahaan tenun menggunakan mesin uap untuk menghasilkan produk tekstil.

Implementasi Industri 4.0 akan membawa beberapa perubahan paradigma, baik itu cara bekerja, proses manufaktur, keterampilan sumber daya manusia yang dibutuhkan, maupun cara konsumsi. Untuk itu, melalui peta jalan Making Indonesia 4.0, Indonesia telah menetapkan sejumlah strategi agar siap dan mampu menghadapi dampak dari revolusi industri keempat tersebut.

“Pada prinsipnya, memasuki era revolusi industri keempat, perubahan yang dibawa adalah peningkatan efisiensi yang setinggi-tingginya di tiap tahapan rantai nilai proses industri,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto ketika menjadi narasumber pada diskusi Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, Senin (16/4/2018).

Menurut Menperin, setiap tahapan manufaktur di era digital saat ini, harus menghasilkan nilai tambah yang tinggi. “Jika tidak, maka tahapan tersebut harus dihilangkan. Sehingga di era Industri 4.0 memiliki rantai nilai yang seramping-rampingnya dengan peningkatan nilai tambah produk yang setinggi-tingginya dan dengan kualitas yang lebih baik,” tuturnya.

“Tetapi di Indonesia, saat ini masih ada yang menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Selain itu, di perusahaan rokok kretek, masih menggunakan mesin lintingan tangan. Jadi, semua itu menggunakan teknologiyang bersifat padat karya. Pemerintah mempunyai keberpihakan untuk melindungi teknologi tersebut, terutama untuk menyerap tenaga kerja,” paparnya.

Pada revolusi industri kedua pada tahun 1900-an, ditandai dengan ditemukannya tenaga listrik. Menurut Menperin, pada fase ekonomi ini, beberapa industri di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup signfikan, seperti sektor agro dan pertambangan. Jadi, revolusi yang kedua ini terkait dengan teknologi di lini produksi,” jelasnya.

Kemudian, di era revolusi industri ketiga, saat otomatisasi dilakukan pada tahun 1970 atau 1990-an hingga saat ini karena sebagian masih berjalan. “Jadi pada saat memasuki revolusi industri ketiga, memang penyerapan tenaga kerja masing-masing di industri sudah berbeda. Sehingga, ini kita bedakan ada yang kelompok industri labour intensive,” ujar Airlangga.

Pada revolusi industri keempat, Menperin menyampaikan, efisiensi mesin dan manusia sudah mulai terkonektivitas dengan internet of things. “Hari ini kita berbicara otomatisasi yang berbasis pada data dan internet, dan ini yang dilakukan di era Industri 4.0. “Kalau dahulu, di dalam manufaktur, produsen dan konsumen terpisah. Tetapi saat ini, memungkinkan adanya co-creation antara pembeli dan produsen yang dapat menumbuhkan mikromanufaktur,” imbuhnya.

Airlangga juga menjelaskan, perbedaan penerapan Industri 3.0 dengan Industri 4.0 adalah dari faktor penggeraknya. Industri 3.0 digerakkan oleh profit, sedangkan 4.0 lebih didorong oleh harga dan biaya. “Bedanya Industri 3.0 dengan 4.0 adalah value chain-nya. Banyak produk-produk yang dari cost itu tentunya berujung pada value added dan supply chain," terangnya.

Di samping itu, hasil studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group terhadap industri yang ada di Jerman, yakni bahwa permintaan tenaga kerja akan meningkat secara signifikan pada segmen R&D dan pengembangan software hingga 96 persen.

Kemudian, akan muncul permintaan jenis pekerjaan baru yang kompatibel dengan system Industri 4.0, di antaranya adalah profesi industrial data scientist dan masih banyak lagi,” ungkapnya. Diproyeksi, beberapa pekerjaan baru yang terkait dengan pengembangan internet of things, antara lain professional triber, cloud architect, industrial network engineer, machine learning scientist, platform developer, virtual reality design, remote health care, robotics specialist, dan cyber security analyst.(rel)
 
Top