JA.com, Limapuluh Kota (Sumatera Barat) --- Seperti biasanya, setiap tahun masyarakat Pangkalan Koto Baru, pada lebaran Idul Fitri selalu menggelar tradisi unik menyambut hari nan suci. Tradisi Adat dan budaya rakyat itu adalah Bakajang, tradisi rutin yang mempunyai nilai budaya yang tinggi.

Menurut masyarakat sekitar, Bakajang atau Kajang ini merupakan Sampan/perahu. konon kabarnya, dulu kajang sebagai alat transportasi nenek moyang warga setempat yang ada di pinggiran Batang Maek. Serta ada juga masyarakat sekitar yang menyebutkan bahwa kajang merupakan sebuah pembaharuan, dimana diartikan sebagai kegiatan memperbaharui silaturrahmi antara mamak dengan kemenakan serta anak nagari, yang digelar setiap awal bulan Syawal atau setelah Hari Raya Idul Fitri.

Uniknya kegiatan ini dilaksaanakan selama lima hari berturut-turut. Hari pertama pembukaan, dimulai dengan tradisi "Manjalang Mamak", yang diikuti seluruh pemuda beserta anak nagari ke empat istano penghulu di limbago adat nagari Gunuang Malintang, Kecamatan Pangkalan Koto Baru.

Mereka antara lain, Dt Paduko Rajo, Dt Sati, Dt Bandaro serta Dt Gindo Simarajo. Adapun terakhir, yang dikunjungi ialah kepala pemerintahan nagari dan alim-ulama. Dalam prosesinya, para pemuda anak nagari bersama bundo kanduang, membawa wejangan makanan yang dibawa menggunakan dulang, biasanya wejengan ini diberi nama Jamba.

Di aliran Batang Maek, sebanyak lima buah perahu sudah disulap para pemuda di empat Jorong menjadi kapal berkuran besar. Kapal-kapal tersebut dirancang berbagai bentuk, menyerupai kapal veri.

Bahkan ceritanya, Guna merangkai kapal-kapal itu, para pemuda menyebut, untuk satu pembuatan kapal veri menghabiskan biaya hingga mencapai Rp20-27 juta perunitnya.

"Dengan menggunakan perahu/sampan hias kami meningkatkan silahturahmi antara anak kemanakan 4 suku di batang Mahat. Beginilah cara masyarakat kami bersilahturahmi antar sesama,"ujar Riswana Salah satu panitia alek Bakajang, di Gunuang Malintang, kemarin.

Dicerikatakannya, pada zaman dahulu aliran Batang Maek merupakan salah satu akses alternatif yang digunakan masyarakat, mengingat pada waktu itu belum ada akses jalan sebagai jalur penghubung antara satu daerah ke daerah lain.  "Sejarahnya, Kajang berarti jalang manjalang untuk silahturahmi yang dilaksanakan setelah hari idul fitri dengan tujuan meningkatkan silahturahmi diantara anak kemenakan 4 suku yang dilaksanakan melalui acara alek bakajang di Sungai Batang Maek,"tambahnya.

Pada tahun ini, sama seperti tahun sebelumnya, pengunjung terlihat memadati Alek Bakajang.Kegiatan ini dilaksanakn selama Lima Hari, Selasa-Sabtu (19-23/6). Tampak hadir, para perantau dan pengunjung dari luar daerah,  niniak-mamak, alim ulama, cadiak-pandai, bundo-kanduang hingga pemuda parik paga nagari serta bupati Limapuluh Kota, Irfendi arbi, anggota DPRD setempat, Kepala-kepala OPD Limapuluh Kota.

"Alek Bakajang yang merupakan Ikon seni budaya di Limapuluh Kota ini akan terus kita kembangkan, sebagai tanda mempererat persatuan dan kesatuan antar sesama warga,"ujar Irfendi usai berkesempatan menaiki Kajang/perahu di Aliran Batang Maek, di Nagari Gunuang Malintang.

Sebagai alek tahunan yang sudah digelar sejak ratusan lalu, bakajang harus tetap kita lestarikan kepada generasi selanjutnya, untuk itu dirinya meminta agar kegiatan ini selalu digelar semeriah mungkin.

"Tradisi di Gunuang Malintang ini harus terus kita jaga, kalau perlu untuk tahun-tahun berikutnya akan kita gelar lebih meriah lagi. Karena Bakajang akan menjadi magnet wisata, hal ini terbukti dengan ramainya masyarakat yang hadir untuk melihat kreasi pemuda di nagari ini dalam menghias perahu,"pungkas bupati. (dho)
 
Top